Ketika Kuliah Terlalu Mahal Bagi Anak Tidak Mampu
Di sebuah negara yang mengklaim mendukung pendidikan, memperoleh gelar tinggi tetap menjadi impian yang sangat mahal bagi banyak anak yang berasal dari keluarga kurang mampu. Meskipun banyak tersedia beasiswa, kenyataan sering kali tidak seindah harapan. 01/06/2025
Sebagian besar program beasiswa hanya ditujukan untuk mahasiswa yang sepenuhnya fokus pada pendidikan tanpa bisa sambil bekerja. Banyak dari mereka harus menghadapi tantangan nyata: perut yang kosong, keluarga yang mengharapkan keberhasilan, dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Anak-anak dari keluarga kaya dapat menjalani pendidikan dengan tenang. Mereka tidak perlu khawatir tentang uang untuk makanan, biaya sewa, atau tagihan lainnya. Bahkan jika mereka mendapatkan beasiswa, itu hanya dianggap sebagai tambahan, bukan satu-satunya solusi.
Di sisi lain, ribuan pemuda terpaksa memilih antara melanjutkan pendidikan atau mencari makan untuk hari ini. Mereka mungkin bisa mendaftar untuk beasiswa, tetapi jika syaratnya menghalangi mereka untuk bekerja sambil belajar, bagaimana mereka bisa bertahan hidup?
Tidak semua anak dari keluarga kurang mampu malas atau enggan berjuang. Mereka justru menjadi yang paling gigih berusaha, siap berkorban, dan mengerti betul seperti apa rasanya hidup dalam keterbatasan. Namun, ketika peluang yang ada tidak didukung oleh sistem yang adil, mereka kembali kalah sebelum memulai.
Bicara tentang pekerjaan, kesempatan tidak selalu terbuka lebar. Persaingannya semakin sengit, bahkan banyak lulusan sarjana yang tidak mendapat pekerjaan. Lalu, bagaimana nasib mereka yang tidak sempat menyelesaikan pendidikan?
Seharusnya, pendidikan tinggi menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Namun, kenyataannya, bahkan bisa kuliah sudah dianggap sebagai kemewahan. Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah harus berpikir matang-matang sebelum memutuskan untuk kuliah karena mereka sadar bahwa waktu mereka juga dibutuhkan untuk membantu orang tua mencari nafkah.
Sering kali, mereka berakhir menjadi pekerja serabutan. Bukan karena mereka kehilangan impian, tetapi karena keadaan memaksa mereka untuk bersikap realistis.
Jika siklus ini terus berlanjut, apakah ketidakadilan sosial akan pernah berakhir? Jika akses pendidikan tinggi hanya dinikmati oleh yang “mampu,” sementara yang kurang mampu hanya menjadi angka dalam statistik pendidikan, lalu bagaimana generasi muda dapat berkembang? Bagaimana cara berpikir mereka bisa terbuka jika untuk bertahan hidup saja telah menguras seluruh tenaga dan waktu mereka?
Kita harus menyadari bahwa pendidikan bukan hanya sekadar memperoleh gelar. Pendidikan adalah tentang membuka pola pikir, memperluas pandangan, dan menciptakan masa depan yang lebih cerah. Ketika hanya sebagian orang yang dapat menikmati hak ini, keadilan sosial menjadi sekadar ilusi.
Sudah saatnya sistem pendidikan berpihak kepada mereka yang benar-benar memerlukan bantuan. Beasiswa seharusnya lebih inklusif, tidak hanya menilai prestasi akademik, tetapi juga memahami realitas sosial dan ekonomi yang dihadapi mahasiswa. Harus ada kebijakan yang memungkinkan mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk tetap berkuliah sambil bekerja, tanpa kehilangan kesempatan untuk berkembang.
Mereka tidak meminta kemudahan. Mereka hanya menginginkan kesempatan yang adil.